Sunday 15 January 2017

Belajar Budaya dan Toleransi di Lombok

Setelah satu tahun lebih vakum dari dunia tulis menulis, akhirnya saya kembali lagi hehe..Kesibukan tahun 2016 yang tidak kalah repotnya seperti pindahan dan cari rumah baru, membuat saya tidak punya waktu dan mood untuk nulis di sini. 

Hari ini saya akan lanjut lagi berceloteh di blog tentang perjalanan-perjalanan saya dan suami dari akhir 2015 hingga 2016. 

Berawal dari kegemaran kami akan pantai, kami memutuskan tahun 2015 silam (26-31 Oktober 2015) untuk mengunjungi Lombok dan Gili Trawangan. Deretan pantai dan kehidupan alami yang jauh dari gaya hidup di Belanda membuat kami makin semangat ke sini. 
Singkat cerita, akhirnya terbelilah tiket Lion Air ke Lombok dari Yogyakarta. Penerbangan yang seharusnya berangkat pukul 20.00 WIB harus delay selama 4 jam 😡. Alhasil kami akhirnya terbang pada pukul 00.00 WIB dan sampai di Lombok pukul 01.30 WIB. Beruntung meski tengah malam sampai di Lombok, sopir kami yang sudah kami booking jauh-jauh hari tetap setia menanti. Perjalanan dilanjut menuju Senggigi yang memakan waktu 1 jam 15 menit. Bisa dibayangkan lelahnya kami sampai di hotel hampir jam 03.00 pagi dan kami harus memulai tour di Lombok 6 jam berikutnya. Alhamdulillah sih bisa tidur sampai jam 08.00 pagi. Oya, kami menginap di Sunset House Hotel Senggigi, sebuah hotel cantik yang berada tepat di tepi pantai Senggigi.

Sunset House Hotel beserta fasilitasnya 😍
Menikmati Pantai Senggigi dari belakang hotel
Sunset di Pantai Senggigi

Pura Batu Bolong, Senggigi

Jam 09.00 pagi tepat kami dijemput oleh sopir kami, tujuan pertama adalah Pura Batu Bolong yang letaknya sangat dekat dengan hotel. Bisa dicapai sekitar 5 menit perjalanan dengan mobil. Penasaran juga kenapa disebut batu bolong, ternyata disebut batu bolong karena adanya batu karang yang berlubang besar di tengah, di mana batu karang ini menyangga pura yang berada di atasnya. Di belakang pura ini terdapat batu-batu yang bila kita berani bisa melihat pemandangan laut yang luar biasa indahnya. Kebetulan suami saya yang berani, saya terima tunggu di batu bolongnya saja haha 😄. Untuk masuk ke lokasi ini kita akan diminta sumbangan seikhlasnya di depan dan wajib mengenakan kain seperti layaknya kita akan memasuki pura suci Hindu di Bali.


Mejeng di batu bolong 😋



Pura Lingsar, Lombok Barat

Perjalanan dilanjut ke Pura Lingsar, perjalanan agak lama sehingga bikin saya tidur sepanjang jalan yang diabadikan sama suami 😅 hahaha (ngga usah dipajang di sini pokoknya). Sesampainya di sana kami disambut guide yang siap mengantar untuk berkeliling, tarifnya saya lupa hehe. 

Aktivitas para pemeluk Hindhu di Pura Lingsar
Pura Lingsar bukan sembarang pura, karena di sinilah kita belajar akan adanya toleransi yang sudah hidup di Indonesia sejak abad 17. Pura ini dibagi 2 bangunan, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh adalah tempat suci pemeluk agama Hindu yang berasal dari suku Bali sedangkan Kemaliq adalah tempat upacara adat pemeluk agama Islam yang berasal dari suku Sasak.
Jika kita berkunjung ke Pura Gaduh, kita akan melihat banyaknya batu-batu yang tergeletak di sana, konon dipercaya sebagai bebatuan suci yang bisa menjadi perantara untuk berdoa kepada Sang Hyang Widi Wase (Tuhan Yang Maha Esa).

Bebatuan suci di Pura Gaduh
Uniknya lagi, di Pura Lingsar ini juga terdapat mata air mengalir yang katanya berasal dari mata air Gunung Rinjani sehingga bersih dan dapat kita minum. Saya yang penasaran juga ikut mencicipi. Rasanya memang benar-benar segar dan bersih 😊.
Air mancur yang airnya berasal dari mata air Gunung Rinjani
Kolam di dalam komplek pura
Lelah memutari komplek pura, saya dan suami menyempatkan waktu untuk menikmati sajian khas Lombok yang bernama Sate Bulayak yang berada di halaman pura Lingsar. Sate ini adalah sate sapi yang dimakan dengan saus pedas (yang membuat suami saya tidak berani banyak-banyak makan karena kepedasannya 😛) dan semacam lontong yang dibungkus dengan daun aren (Bulayak). 
Kelihatan pedasnya kan 😋

Desa Tenun Sukarara, Lombok Tengah

Seusai kenyang menyantap sate Bulayak, perjalanan kami lanjutkan ke desa tenun Sukarara. Di desa ini kaum wanitanya bekerja sebagai penenun. Dalam sehari mereka menenun kain selama 7 jam. Untuk satu kain tenun utuh, mereka membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Fyuh, 💦 kebayang capeknya menenun sehari selama itu, saya dan suami mencoba beberapa menit dan kami sudah merasa kalau menenun adalah pekerjaan yang bukan main-main. Tapi saya akui, suami saya punya bakat untuk menenun, lebih lihai ketika menenun 😀.

Di desa ini selain kita dapat melihat bagaimana para wanita di sana menenun kain, kita juga dapat membeli hasil tenun mereka di toko-toko yang terdapat di sini. Kami tidak membawa pulang, tapi kami menyempatkan mencoba pakaian adat Lombok, bangga rasanya bisa mencobanya meski keringatan waktu difoto haha 😊.


Desa Sade, Lombok Tengah

Tak lengkap rasanya kalau ke Lombok belum mengunjungi desa Sade, desa di mana suku Sasak  tinggal. Sewaktu saya kecil saya suka menonton acara jalan-jalan di TV di mana rumah suku Sasak lantainya harus dibersihkan dengan kotoran kerbau. Oleh karena itu saya makin penasaran untuk benar-benar melihat rumahnya. 



Ketika kita sampai di depan pintu masuk desa, kita akan disambut oleh guide. Lucunya sewaktu beliau menanyakan asal suami saya, beliau bercerita kalau beberapa tahun lalu Desa Sade mendapat bantuan listrik dari Philips, Belanda. Sehingga sejak saat itu warga Desa Sade dapat menikmati listrik.

Awalnya saya mengira desa ini adalah desa wisata yang sudah banyak ditinggalkan warga aslinya, tapi ternyata tidak. Kehidupan asli masyarakat Sasak masih berlangsung, hanya saja beberapa warga beralih profesi menjadi penjual souvenir. 

Seorang ibu sedang menenun kain


Rumah adat Lombok

Suasana dalam rumah Suku Sasak
Di dalam rumah masyarakat Sasak, laki-laki tidur di depan sedangkan wanita tidur di belakang. Hal ini adalah lambang bahwa laki-laki adalah pelindung keluarga. Beda hal dengan rumah pada umumnya, di desa Sade kita boleh masuk rumah warga bahkan mengambil foto. Kepercayaan satu sama lain sangat terjalin di desa ini.

Makan Ayam Taliwang

Sebagai foodies, saya tidak akan melewatkan makanan khas Lombok yang sudah saya gemari sejak dulu, tak lain dan tak bukan adalah ayam taliwang lengkap dengan plecing kangkung dan beberuk terongnya. Sopir kami membawa kami ke salah satu restoran terkenal di Lombok untuk benar-benar menikmati lezatnya ayam taliwang yang super pedas ini 😋😋😋.




Setelah sehari di Lombok dan menikmati budayanya, kami melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan. Ikuti terus cerita saya di tempat impian kami berikutnya ya 💓.


No comments:

Post a Comment